Saturday, December 1, 2012

POM AIR

3 Mei 2012
Kelas musik untuk kelas 3 dan 4 dimulai pukul 07:30. Musik bisa dibilang, bagian dari komunikasi lanjutan dari perkembangan berbahasa, yakni menjadi bagian lirik. Anak-anak pernah bertanya, “Kak, apa hubungannya bercerita dengan musik?” Saya menjawab, “Bagaimana kamu bisa membuat lirik kalau kamu ngga punya cerita? Bagaimana kita bisa bercerita kalau kita ngga berimajinasi?”

Oke, cerita dimulai dulu ya. Begini…

“Kak Galih punya cerita, sebelum datang ke kelas kalian, aku berangkat dari Cijambe. Cijambe, Ujung Berung, pukul 6 pagi. Kamu tau? Daerah atas Cijambe setiap pagi, Kak Galih selalu sedih lihat pagi dengan kabut yang abu-abu bukan putih, ga seperti kabut seperti Kak Galih sewaktu masih seusia kalian, kabutnya putih, kalau bernapas dari mulut Kak Galih keluar asap, macam di Eropa pokoknya. Nah, berangkatlah Kak Galih, sampai depan jalan raya, kira-kira sudah 6:15, jalanan sudah mulai penuh kendaraan, hidung Kak Galih mulai gatal, aku alergi debu dan asap kotor, setiap pagi harus rela bersin-bersin kalau sudah di jalanan, yang kadang bikin repot orang-orang di angkot kalau Kak Galih naik, Kak Galih jadi sibuk sendiri deh akhirnya. Di angkot, ternyata angkotnya kosong, hanya ada 5 orang di sana, namun suasana di jalanan sangat macet meski di dalam angkot sini sepi. Kak Galih pikir Ada apa dengan jalanan, angkotnya kosong, kok macet. Orang-orang berbondong-bondong tiap pagi, seperti Kak Galih dan kalian, ada yang berangkat mengajar, bekerja dan sekolah. Selain penuh manusia, jalanan ini juga penuh asap, bikin ga betah deh pokoknya. Hmm, nah dari cuplikan cerita Kakak, ada yang mau bertanya dan berpendapat?” salahsatu anak mengacungkan tangannya “Seharusnya pakai kendaraan pribadi kalau di saat penting saja ya, Kak? Kalau kita masih sempat dan bisa pakai kendaraan umum, kenapa ngga.” Aku Tanya kembali, “Kamu ke sekolah naik apa?” dia menjawab “Mobil, Kak.” Aku mengangguk, “Tidak apa-apa, boleh kalian pakai kendaraan pribadi kok. Tapi, jangan lupa bertanggung-jawab, seperti menanam pohon agar polusi udaranya bisa dikurangi…” belum sempat meneruskan, anak-anak mengacung lagi, aku tunjuk, “Pakai kendaraan yang hemat energi juga, bisa mengurangi polusi, Kak. Naik sepeda contohnya.” …

Aku beruntung, anak-anak sudah mengenal bagaimana menyayangi lingkungan sebab di sekolah ini menekankan hal tersebut. Jadi, meski mereka datang ke sini dengan kendaraan bermotor, setidaknya mereka belajar bertanggung jawab dengan menanam pohon, minimal di rumah dan di sekolah ini, tidak begitu saja, sebagai guru juga harus mencontohkan kalau berangkat ke sekolah dengan sehat dengan sepeda atau jalan kaki, seperti Kak Opan dengan sepeda dari Cicaheum sampai Pasteur dan aku jalan kaki kalau capek ya angkotan deh.

“Hmm, kayaknya kita bikin lagu tentang bagaimana mengurangi polusi udara bakalan seru ya?” hari itu, oke deh, seperti biasa, aku lebih suka dengan kelas yang sebetulnya terkesan berisik, aku suka anak-anak saling berpendapat, malah sampai BT sebab dia tidak kebagian mengemukakan pendapat, dari situ aku yakin akan muncul kompetisi imajinasi dan pikiran yang sehat, nilai plusnya memecahkan masalah dengan cepat. Walhasil, kelas… ribut. Hahaha! Seperti yang aku mau.

“Oke, aku tulis ya pendapat dari kamu,” mengambil spidol dan menuliskan N-A-I-K-S-E-P-E-D-A. “Naik delman juga, Kak!”, “Becak!”, “Mobil bertenaga surya!” oke semua aku tulis. Tiba-tiba, ada pendapat seperti ini, “Ada yang ramah lingkungan, Kak. Jadi untuk bikin supaya ga pakai bensin, mobil di masa depan pakai tenaga marmut, marmutnya lari-larian, menghasilkan tenaga listrik deh.” Aku ketawa, “Waduh, kasian itu marmut! Ada lagi?” ada anak pindahan dari home-schooling, dia berpendapat, “Bahan bakarnya terbuat dari olehan sayur-sayuran busuk, Kak.” Aku balas, “Wow, pupuk kompos maksudnya? Ide bagus, semoga kamu yang nanti nemuin caranya ya!”

Lalu, “Kak, kalo Pom Bensin, bensinnya diganti dengan air, bisa?” aku mengernyit dahi, “Semacam PLTA?” Dia mengacungkan jempol. “Make sense!” aku jawab sambil mengacungkan jempol juga pada dia. “Semacam Pom Air jadinya, Kak. Nanti setiap mobil dan motor, yang… mengantri diisi dengan listrik dari olahan Pom Air.” Aku mengangguk-angguk, “Wiiih, seru banget tuh, idenya bagus tau! Masa depan cerahlah ya kalau begitu. Ada lagi?” ujarku semangat.

Akhirnya segala macam pendapat anak-anak aku tulis di papan tulis. Ditulis sampai kira-kira pasokan ide ini, membuat isi di lirik yang dibuat bersama teman-teman kita, penuh dengan ide baru yang menyemangati kita sendiri dan orang lain. 

Nah, semoga dengan lagu ini, kita yang membaca blog ini, kita yang mendengar lagu ini, menjadi semakin ramah lingkungan, semakin peduli dan saling menemukan cara terbaik untuk mencintai bumi. Oleh sebab itu, tidaklah perlu khawatir dan tetaplah terus mendukung anak-anak. Sebab, anak-anak Indonesia adalah anak-anak yang tidak kalah cerdas dengan anak-anak dari negara lain di dunia ini, percaya deh, bahkan anak Indonesia sudah terbiasa bermain sambil belajar secara alami sejak mereka dilahirkan di dunia ini. Mereka sudah dekat dengan alam, membuat mainan sendiri, bermain yang sebetulnya mendukung motoris mereka menjadi luwes sebab sering bermain dengan gerak menyeluruh; jangan sampai anak Indonesia dilupakan dan terus dimanja disogoki mainan yang menghambat kreatifitas mereka. 

Oke deh, ini liriknya:

POM AIR
verse:
Embun putih di pagi hari,
Hari Minggu yang tenang,
Keliling kota naik sepeda,
Becak dan delman berderetan,
Dan Pom Air mengisi mobil.

reffrain:
Polusi udara diserap,
Dijadikan pembangkit energi listrik!

verse:
Nafas sejuk setiap pagi,
Cicit burung bernyanyi,
Menanam pohon, bermain-main,
Tua dan muda mengambil guna,
Oh Pom Air mengisi mobil.

reffrain:
Polusi udara diserap,
Dijadikan pembangkit energi listrik!


YAK, SAMPAI JUMPA!
Galih Su. Bandung, 3 Mei 2012

No comments:

Post a Comment