Saturday, December 1, 2012

MELIHAT LAGU ANAK DARI BERBAGAI SISI

Saya adalah seorang yang lebih memercayai pengalaman dibanding hanya membaca saja, pun hal ini terjadi sebab jarangnya referensi yang membahas musik anak, dengan harapan sesedikitnya bisa saya kutip. Jadi walhasil tulisan ini pun, lebih mengarah pada apa yang saya alami. Semoga bermanfaat :)

***

Hari itu saya bertemu Ray, anak usia 4, dia bilang "Om, bikin lagu dong. Lagu tentang mobil, mobil truk. Mobil truk yang terbang ke langit. Di langit truknya ketemu burung." Saya mengernyit dahi apa anak ini ketularan bahasa sehari-hari saya ya? Saya bilang sama si Ray, "Nah loh Ray, susah dong bikin lagunya? Burungnya nyupir truk ngga?" Ray jawab "Iya!" dia lanjut dengan ketawa.

Baru saja kemarin saya ngobrol dengan Luthfi Adam yang me-request "Gal, buatin lagu anak." saya bilang, oke. Namun permasalahannya dalam kepala orang dewasa seperti saya dan Upil (Luthfi) yakni, anak-anak itu pikirannya sederhana dan lugas. Nah, setelah mendengar Ray, pendapat saya tentang sederhana... saya hapus. Anak seperti Ray, ternyata psychedelic banget (hahaha).

Lalu saya mulai berpikir tentang ketertarikan anak terhadap nada. "Hap! Lalu ditangkap." di sini, ledakan-ledakan seperti "Hap!", "Dor!", "Kring, kring, kring!" sepertinya memang jadi bagian favorit yang ditunggu anak-anak dalam satu lagu. Terbukti hampir setiap anak yang saya temui jika dalam kondisi mood yang baik akan mengucap "Hap!" dengan penuh semangat. Atau dengan kata lain, anak-anak sangat menyukai kejutan. Di lain hal, saya temui banyaknya lagu anak yang memakai non-lingua seperti "Tuk tik tak tik tuk" lalu "Dudidudi damdam dudidudi dam" atau lebih ekstrim lagi seperti "cukicakicu cukicakici" dan "Hoy nana hoy zimi zimi hoy nana hoy." Nah oke, saya simpan buat referensi jika sedang buat lagu untuk anak.

Yang ke dua. Saya bertanya pada Upil "Lagu anak?" Upil menjawab "Yang nadanya simpel, Gal. Yang anak-anak bisa nyanyi." secara tidak langsung, kembali, dalam pikiran orang dewasa seperti saya dan Upil melihat bahwa anak-anak belum mampu bernyanyi dengan nada yang sulit, apalagi untuk usia balita.


Oke, saya tanya Upil "Pil, pas gua kecil, gua suka nyanyi Ambilkan Bulan. Kayak gitu-gitu lagunya, bisa?" kata Upil "Ngga, Gal. Lebih sederhana lagi, itu kan elu." Hmm, oke deh. "Semacam Naik-Naik Ke Puncak Gunung?" Upil menyahut "Yap!" ... fiuh, susah juga.

Baiklah saya akan membandingkan lagu Twinkle Twinkle Little Star dan Naik-Naik Ke Puncak Gunung. Ada perbedaan? Ada. Naik-Naik Ke Puncak Gunung memiliki nada yang sulit! Sedangkan Twinkle Twinkle Little Star, tidak, lagu ini datar. Baiklah, saya bandingkan Jingle Bell dan Oh Amelia. Kasusnya sama. Dengan kata lain, lagu anak-anak Indonesia memiliki tingkat kesulitan nada yang cukup rumit untuk anak-anak (pada umumnya menurut perbandingan saya tadi). Sebab, Oh Amelia memiliki beberapa lekukan rendah ke tinggi dan pergantian nada yang cukup signifikan, sedang Jingle Bell? Tidak. Oleh sebab itu, di pikiran saya mengenai lagu anak, terutama lagu anak yang ada di Indonesia itu datar? Saya coret.

Yap, semakin menariklah saya untuk "Bagaimana membuat lagu anak yang mengena dengan nada yang terlihat sederhana. Padahal tidak." Kita bisa lihat itu pada lagu Bintang Kejora, anak-anak mampu menyanyikannya, padahal nadanya sangat variatif.

Jadi, semakin mengernyitkan-dahilah saya "Mengapa lagu anak di Indonesia punya nada yang beragam?" tidak lama pertanyaan itu ada di kepala saya, teman Ray dan Cikal datang ke rumah "Cikaaaaaal...." dengan kejadian seperti ini yang lumrah ada pada kultur di Indonesia, anak Indonesia sudah terbiasa memanggil temannya dengan nada yang naik dan turun. Secara kasat kuping (elah), anak Indonesia sudah bisa menyanyi tingkat dasar semenjak dini dari budaya permainan mereka sendiri.

Akhirnya, semakin penasaranlah. Saya coba pada lagu tradisional selanjutnya, salahsatunya Cublek-Cublek Suweng. Oh tidak! Nadanya lebih beragam dari lagu popular anak yang beredar dan sering dinyanyikan di Taman Kanak-Kanak! Ups, tunggu dulu, Cublek-Cublek Suweng adalah nyanyian yang biasanya dinyanyikan oleh anak-anak usia 5 tahun ke atas, sebab pada masa usia ini anak-anak sudah bisa bermain dengan strategi, dan, "Oh gila! Lagu anak tradisional kreatif banget." itu kata pikiran saya, bagaimana lagu ini dari nadanya mencerminkan kelihaian usia anak ketika mengenal strategi dalam permainan, lagu tersebut pun mendukung mereka untuk bekerjasama dengan tingkat nada yang lebih sulit dibanding lagu anak usia balita.

Hmm, bagaimana ya buat lagu anak usia balita? Saya tetap percaya, anak-anak Indonesia tidak sesederhana bernyanyi seperti lagu luar negeri, dengan melihat perbandingan tadi. Lalu saya terpikir "Apa sih yang membuat orang Indonesia ketika dewasa mudah melupakan masalalunya? Apa sih yang membuat orang Indonesia mudah terimbas arus zaman?" jawabannya pun saya memercayai ada pada lagu yang dulu kita nyanyikan ketika kecil. Banyak dari kita yang bermimpi menjadi seorang besar, tanpa melalui tahapan-tahapan kecil. Banyak pula dari kita yang bermimpi menjadi orang besar, dan tidak menghargai profesi yang terlihat nguli. Itu pun tersimpan dalam lagu anak, yakni tidak disebutkan dalam lagu anak. Hal ini saya lihat dari kecenderungan orang Jawa yang mengenal lagu Lir-Ilir, Jaranan, dan lain sebagainya. Atau manusia Indonesia di Jawa Barat yang mengenal betul masa ciliknya dengan lagu Asmarandana, Dangdanggula, Balabak dan lain sebagainya. Musik memang bermain dalam ranah psikologi dan memori pembentukan sikap dan sifat yang ditangkap otak yang suatu hari menjadi bagian dari attitude seorang anak.

Di sini, kita akan melihat adanya kecenderungan nuansa vokal pada akhiran rima lagu, baik lagu anak maupun lagu untuk dewasa. Seperti A, I, U, E, O. A biasanya dipakai sebagai sesuatu yang cerah dan penuh kejutan, seperti "Hap!" Vokal I yang biasanya dipakai sesuatu yang diraih entah sulit atau tidak (ini hanya kecenderungan lho). U biasa dipakai sebagai nada yang cukup gloomy dan sedih, apalagi jika dengan nada menurun; atau U sebaliknya yakni menghentak bersemangat, seperti "Hu!" namun ini jarang sekali dipakai. E hampir sama dengan I. Lalu O, yang sering dipakai dalam lagu dalam sifat pertanyaan, bertanya-tanya, penekanan. Tidak selalu tepat, namun itu adalah kecenderungan dari sifat huruf-huruf vokal. Baiklah, contohnya kita lihat pada lagu Balonku.

Balonku ada lima
rupa-rupa warnanya
merah kuning kelabu
merah muda dan biru

meletus balon hijau
dor!
hatiku sangat kacau

balonku tinggal empat
kupegang erat-erat

Di sana. Adanya penekanan-penekanan emosi. Yang jelas sangat berpengaruh pada psikologi anak, apalagi ketika menyebut kata "Kelabu" dengan nada menurun. Di sana, dari nada saja lagu tersebut sudah memberikan perintah pada otak secara bahasa nada, belum lagi dengan perpaduan bahasa yang dipakai. Apakah lagu Balonku jika ditelaah seperti ini adalah mengenai balon? Hmm, tentu saja tidak, ini sangat luas. Pada bait terakhir kita menemui adanya konsonan T "balonku tinggal empat" adanya penekanan dan kehilangan. Lalu kita bertemu kembali konsonan T sebagai penekanan pada "kupegang erat-erat." di sini, kita melihat penekanan lain setelah si anak kehilangan, ia ditekankan untuk menjaga apa yang tersisa, sebaik-baiknya, dengan penekanan nada dan pemakaian bahasa*.

Jadi, PR saya kali ini melihat apa yang jadi pikiran selama ini akibat ulah Luthfi Adam, adalah... bahasa dan rima. Bahasa baik yang tersembunyi (metaforis) ataupun tidak, untuk memacu ingatan anak yang akan terus tumbuh berkembang yang dikemas dalam nada yang khas warna-warni. Tidak melulu harus ceria. Seperti Oh Amelia, Ambilkan Bulan, Kupu-Kupu Yang Lucu, Dodi Di Balik Pintu dan lain sebagainya; lagu-lagu tersebut terkesan ceria, namun jika diamati sangatlah gelap dan ada perumpamaan yang sulit dimengerti anak-anak. Namun, memori dari lagu tersebut akan tetap tersimpan di bawah sadar dan memengaruhi sedikitnya sebagai bagian dari perkembangan dan pertumbuhan mereka.

Semoga saya bisa!


Galih Su, 22 Mei 2011.
Untuk anak-anak Indonesia, semoga bisa terus bernyanyi dengan bahasa mereka :)

* dikutip dari Rasus Budhyono (Tin Wisthler, ayah dari Ray dan Cikal, Dosen Sastra Inggris Unpad), ketika mengutarakan pendapat tentang lagu anak :) nuhun

No comments:

Post a Comment